Selama ini buaya disebut sebut sebagai ‘fosil hidup’ karena
sedikitnya perubahan fisik buaya dari jaman prasejarah. Tapi ternyata
analisa yang dilakukan di New York menunjukkan buaya yang hidup di jaman
sekarang ini berkembang dari kelompok yang sangat berbeda. Terungkapnya
perjalanan evolusi buaya itu diketahui lewat penemuan nenek moyang
purba buaya, semisal spesimen mirip kucing, buaya raksasa dan spesies
vegetarian berhidung pesek. Anatomi tubuh pendek dan lebar, moncong
bulat, serta ekor pendek yang diperlihatkan beberapa buaya itu
menunjukkan adanya serangkaian adaptasi.
Adaptasi anatomi dari kelompok reptil yang amat beragam dan disebut
notosuchian crocodyliform itu dipaparkan dengan detail dalam Memoir of
the Society of Vertebrate Paleontology, Desember 2010. Laporan yang
disunting oleh David W. Krause dan Nathan J. Kley dari Stony Brook
University itu dengan tegas menumbangkan gagasan yang menyatakan bahwa
buaya adalah fosil hidup, tidak berubah sejak zaman prasejarah.
Mereka menduga struktur tubuh dasar dari buaya, alligator, dan
gharial berkembang dari sebuah kelompok reptil prasejarah yang amat
beragam dengan bentuk tubuh berbeda. Dugaan itu berawal dari penemuan
fosil buaya aneh Simosuchus clarki 10 tahun lalu di Madagaskar. Sejak
saat itu, para ahli paleontologi berlomba menemukan fosil utuh binatang
tersebut.
10 tahun kemudian, kerangka buaya yang hampir lengkap pun ditemukan.
Analisis fosil tersebut memicu kembali diskusi tentang evolusi buaya
modern. “Tengkorak dan rahang bawahnya nyaris terawetkan seluruhnya,”
kata Nathan J. Kley. “Tulang itu dikombinasikan dengan CT-scan resolusi
tinggi memungkinkan kami menggambarkan struktur kerangka kepala, baik
dalam maupun luarnya, secara detail luar biasa, termasuk jalur saraf dan
pembuluh darah yang amat kecil.”
Simosuchus clarki, yang diperkirakan hidup 66 juta tahun lampau di
pengujung zaman dinosaurus, amat berbeda dibandingkan dengan spesies
buaya lain. Panjangnya hanya 60 sentimeter, moncong pendek dan membulat,
serta ekor pendek dan tubuhnya mirip tank tertutup lapisan keras.
Dengan rahangnya yang pendek dan lemah, ditambah gigi berbentuk daun,
para ilmuwan menduga reptil tersebut tak akan mampu menarik mangsa dari
tepi air, seperti apa yang dilakukan buaya modern. Berdasarkan analisis
tersebut, Simosuchus clarki diperkirakan adalah buaya purba yang hidup
di darat, dan bukannya memangsa binatang lain seperti kerabat modernnya.
Spesies itu justru mengunyah tanaman di habitat padang rumput yang
kering.
“Simosuchus clarki hidup di darat, berbadan lebar, dan posturnya
seperti sedang berjongkok, menunjukkan binatang itu tak dapat bergerak
lincah atau cepat,” kata Joseph Sertich dari Department of Anatomical
Sciences di Stony Brook, yang terlibat dalam studi tersebut.
Meski gagasan buaya vegetarian yang lemah ini terdengar ganjil,
laporan para ilmuwan Stony Brook membuat orang dengan mudah membayangkan
bagaimana buaya itu berjalan pelan menyusuri habitat padang rumput
keringnya, beristirahat untuk mengunyah tanaman dan berjongkok rendah
untuk bersembunyi dari predator seperti majungasaurus, dinosaurus
pemakan daging. Mereka juga menemukan bukti yang menunjukkan asal usul
evolusioner Simosuchus clarki. “Analisis hubungan evolusioner
menunjukkan kerabat terdekat Simosuchus hidup jauh lebih awal di Mesir,”
kata Sertich.
Tanpa mempedulikan nenek moyangnya sekalipun, penemuan Simosuchus
clarki telah menetapkan standar baru tentang apa yang membentuk seekor
buaya. “Singkatnya, Simosuchus adalah anggota grup crocodyliform paling
aneh yang pernah ditemukan,” kata Dr Christopher Brochu, pakar fosil
buaya dari University of Iowa.
Keanehan spesies buaya itu, kata Brochu, ada kemungkinan dipengaruhi
oleh relung khusus yang ditempati Simosuchus clarki dalam ekosistem.
“Banyak peran ekologi yang diisi oleh dinosaurus di utara, tapi diisi
oleh buaya di belahan selatan,” katanya. “Hal itu menyebabkan munculnya
buaya yang sangat aneh.”
Brochu juga memperlihatkan perbedaan yang amat kontras antara
Simosuchus clarki dan buaya modern. “Gharial India, misalnya, mempunyai
moncong langsing dan panjang dengan gigi seperti jarum, serta sendi
rahang terletak sejauh mungkin ke belakang. Simosuchus clarki memiliki
struktur sebaliknya. Moncongnya begitu pendek sehingga tengkoraknya
hampir seperti kubus. Giginya sama sekali tak mirip jarum dan sambungan
rahangnya terletak di bawah telinga, jauh sekali dari ciri gharial.”
Selain Simosuchus clarki, fosil buaya lain yang membuktikan buaya
bukan fosil hidup adalah kerangka binatang mirip buaya kecil dengan gigi
menyerupai mamalia, yang ditemukan sejumlah ahli paleontologi di
Tanzania. Gigi kucing yang dimiliki buaya tersebut jauh berbeda dari
gigi kerucut buaya modern, yang digunakan untuk merobek dan memotong.
Buaya bukan lagi ‘fossil hidup’
Posted by Agung Indra Pramna
23.31, under | No comments
0 komentar:
Posting Komentar